Sampul Buku Dari Penjara ke Penjara
Seharian ini saya membaca buku Dari Penjara ke Penjara (DPKP) karya bapak republik Indonesia, Tan Malaka. Walaupun Tan orang politik, tapi tak terasa kalau buku ini ditulis oleh orang politik yang biasanya kaku dan berapi-api. Membaca tulisan Tan, serasa membaca karya Hamka atau A.A Navis atau Abdul Muis. Ceritanya mengalir begitu saja, kaya kosa kata, mendayu-dayu, ciri khas tulisan orang Minangkabau tulen. Tapi lebih dari itu, DPKP menerangkan kepada kita, kemana condongnya pikiran Tan, dan mengapa Tan harus rela berjuang demi rakyat proletar yang tertindas.
Buku ini dibagi menjadi dua jilid, menceritakan riwayat perjalanan Tan di Hindia-Belanda, Eropa, Filipina, Tiongkok, dan kembali ke Republik Indonesia. Menurut pengakuan Tan, lahirnya DPKP atas desakan kawan sejawatnya, yang agar Tan menulis riwayat hidup, asam garam perjuangannya. Tapi Tan merasa tak mungkin menulis riwayat hidupnya dari lahir, seperti halnya menulis sebuah autobiografi. Jadilah yang ditulisnya hanya saripati perjuangan serta reportasenya selama melawan imperialisme Belanda, Amerika, dan Inggris. Justru, belakangan orang lainlah yang menulis autobiografi Tan secara lengkap, seorang sejarawan Belanda yang cukup kesohor, Harry A. Poeze.
Dari tebalnya buku yang saya baca ini, ada beberapa bab yang menarik hati. Bab 6 : Di Deli, menceritakan kondisi kuli kontrak yang merana, ditekan di bawah kaki tuan-tuan kebun yang kejam. Laporan Tan 90 tahun lalu ini, sangat mengiris hati. Berikut ini saya kutip apa yang Tan tulis : “Deli penuh dengan lanterfanters dan schiemiels Belanda. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras. Inilah gambaran borjuis gembel di Deli. Mereka dapat lekas kaya, karena gaji besar dan mendapat bagian tetap dari keuntungan, apabila telah bekerja setahun saja. Kalau tidak salah, selain gaji puluhan ribu setahun itu, tuan kebun mendapat bagian keuntungan f 200.000. Tuan maskapai malah lebih dari itu, mendapat gaji tetap sebagai direktur dan adviseur beberapa maskapai, dari bunga modal yang ditanamnya, tetap juga menerima bagian yang lebih besar lagi dari keuntungan kebun. Tuan maskapai adalah pemegang andil yang terbesar, tetapi tidak bekerja, dan biasanya berada di tempat yang jauh, tamasya keliling Eropa. Yang kaya cepat bertambah kaya. Inilah impian kosong schiemels Belanda dengan tongkat besar di kebun Deli, di kamar bola di depan gelas bir dan wiskinya.

Kelas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, kelas yang mendapat upah hanya cukup untuk pengisi perut dan penutup punggung, kelas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, yang sewaktu-waktu di-godverdomi atau dipukul. Kelas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan istri dan anak gadisnya jika dikehendaki oleh ndoro-tuan, adalah kelasnya bangsa Indonesia yang terkenal sebagai kuli kontrak. Kuli kebun, laki-laki atau perempuan, biasanya harus bangun pada pukul 4 pagi, karena kebun tempat mereka bekerja letaknya jauh. Pukul 7 atau 8 malam mereka baru tiba di rumah. Gaji menurut kontrak f 0,40 sehari. Makanan biasanya tidak cukup untuk bekerja keras, mencangkul di tempat panas delapan sampai 12 jam sehari. Pakaian pun cepat rusak karena sering bekerja di hutan.
Kekurangan dalam segala-galanya, menimbulkan keinginan untuk mengadu nasib dengan bermain judi, nafsu yang sengaja diciptakan oleh maskapai sesudah hari gajian. Yang kalah berjudi biasanya lebih banyak daripada yang menang. Yang kalah diizinkan berutang. Karena terikat utang, maka 90 dari 100 kuli yang habis masa kontraknya, terpaksa memperpanjang kontraknya lagi. Utang menimbulkan keinginan berjudi dan perjudian menambah utang terus-menerus.” Demikian laporan Tan yang menceritakan kondisi yang timpang dalam perkebunan Deli, Sumatera Timur.
Kita tahu, sejak dibukanya perkebunan Deli untuk penanaman tembakau. Berduyun-duyun kuli kontrak didatangkan Belanda ke daerah ini. Mereka yang terbanyak berasal dari Jawa, India, dan Tiongkok. Pada mulanya hanya kuli-kuli Tionghoa yang mengisi perkebunan ini. Namun seiring berjalannya waktu, Belanda kesulitan untuk mendatangkan kuli-kuli asal Tiongkok ini. Sebagai penggantinya, maka kuli-kuli Jawa-lah dan kemudian India yang dipilih untuk bekerja disini. Selama 1,5 tahun Tan berada di Deli, macam-macam saja kejadian yang berlaku. Tak kurang seratus sampai 200 tuan-tuan Belanda mati di bacok kuli. Kejadian ini didasarkan karena timpangnya peri kehidupan mereka. Di Deli, lanjut Tan, jelas sekali pertentangan kelas, antara Belanda-kapitalis-penjajah dengan Indonesia-kuli-jajahan.

Suasana perkebunan tembakau Deli
Di bab ini pula, kita akan membaca bagaimana kuatnya prinsip Tan yang tak pernah mau membungkuk kepada siapapun, termasuk tuan-tuan Belanda yang mempekerjakannya. Sewaktu sekolah di Belanda-pun, Tan akan naik pitam jika ada anak-anak Belanda yang mengolok-oloknya sebagai inlander. Tak salah kalau bung Hatta menjuluki Tan sebagai orang yang berpunggung lurus. Berikut sedikit saya ambil cerita Tan sewaktu menjadi pelajar di Belanda. “Pengalaman saya di Belanda di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di lapangan olah raga, jangan kita sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih lantas-angan. Kalau dia di jalan raya memanggil vuile Neger ataupun water Chinees, lalu kita menghampiri dan bertanya, “apa kamu bilang? sebutkan sekali lagi” sambil siap sedia, maka 99 dari 100 kejadian, dia akan berkata: “niets, meneer” atau bungkam mulut. Kalau di lapangan bola si Belanda sedikit saja tersinggung, memaki kita, jangan sekali-kali makiannya itu dibalas dengan makian. Dia akan lebih rewel dan mengeluarkan 1001 makian pula “Groote bek opzetten”. Hantam saja, tetapi secara sportif ! Pasti dia akan menjadi lebih sopan, minta maaf atau tutup mulut. Pendeknya resep saya, Belanda jangan sekali-kali dikasih hati.” Begitu cerita Tan Malaka ketika sekolah di Belanda dulu. Masih di bab ini, kita akan melihat lagak gaya Tan, mencemeeh petinggi-petinggi Belanda, dengan gaya sindiran khas Minang yang populer itu. Bab di Deli ini ditutup dengan ressign-nya Tan Malaka dari Senembah Mij, perusahaan perkebunan tempat ia ditugaskan Dr. Janssen, untuk membuat sekolah bagi anak-anak kuli.
Selain bab 6, ada lagi bab yang mengundang decak kagum saya kepada Tan. Bab 8 : Tangkap Buang I, yang berkisah tentang sekolah rakyat kedua yang didirikannya di Bandung. Dari bab ini kita akan melihat bahwa Tan adalah seorang pendidik yang pandai. Dalam perjuangan membebaskan bangsanya, ia tak hanya pandai beretorika. Tapi juga menebar ilmu pengetahuan, yang menurut keyakinannya, bahwa kelak pendidikanlah yang akan mengantarkan bangsa ini menuju pintu kemerdekaannya. Atas tindakannya membangun sekolah rakyat itu, Tan dianggap sebagai musuh berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda.
Di buku jilid ke dua pada bab 4 : Menuju Tempat yang Tidak Disetujui, kita akan menengok dalamnya pengetahuan Tan Malaka. Selain penikmat buku-buku filsafat dan politik, ternyata Tan juga seorang pecandu buku-buku sejarah. Pada bab ini, Tan malah mengkritik pola penulisan sejarah Indonesia, yang menurutnya hanya berdasarkan khayalan dan dongeng-dongeng belaka. Di nomor 5, yang berjudul Kerajaan Malaka Tinggal Kenangan, Tan berceloteh panjang mengenai riwayat kerajaan ini, dari kemunculannya hingga penaklukan oleh imperialis Portugis. Analisa Tan mengenai kejatuhan Malaka, bukanlah disebabkan oleh kalahnya persenjataan dan strategi orang-orang Melayu, namun dikarenakan adanya perpecahan serta sokongan pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang membantu Portugis untuk menaklukan Malaka.
Berikut saya petik analisa Tan mengenai kejatuhan kerajaan Malaka. “Dari sumber Barat kita dapat mengetahui bahwa teknik Portugis di masa itu pada dasarnya tak seberapa melebihi teknik Malaka. Keduanya memakai kapal perang dan senjata api. Menurut sumber Portugis, Kerajaan Minangkabau sudah pandai melebur besi dan membikin bedil dan meriam (lela) dan mengirimkan senjata itu ke Aceh dan Malaka setiap tahun, ratusan banyaknya, lama sebelum bangsa Portugis datang di Indonesia. Perbedaan teknik Portugis dan Malaka, cuma terdapat dalam perbedaan kekuatan senjata itu saja. Meriam Portugis, dapat menembak lebih jauh daripada meriam Malaka ! Memang perbedaan kekuatan ini menimbulkan satu handicap (rintangan) di pihak Malaka, tetapi rintangan ini dapat diatasi oleh muslihat dan keberanian. […] Demikianlah berkali-kali armada Portugis dapat dikalahkan ! Tetapi riwayat kemenangan yang berkali-kali terdapat di laut itu, kita baca sesudahnya kota Malaka ditinggalkan. […] Tetapi bagi saya, armada, tentara, dan strategi Portugis belum tentu sekali dapat mengalahkan armada, tentara, dan strategi Malaka, kalau yang tersebut di belakang ini berada dalam keadaan normal (biasa). Bukankah tentara Aceh dapat mengalahkan tentara Portugis ? Bukankah pula Sunan Gunung Jati yang berasal dari Aceh menghalaukan armada Portugis dari Jawa dan menunda penjajahan Barat atas Jawa lebih kurang satu abad lamanya, dan memotong jalan Portugis ke Maluku mencari barang dagangan yang penting ?
Pokok sebab yang menaklukkan kerajaan Malaka haruslah kita cari di luar kekuatan armada dan keuletan strategi di kedua belah pihak. Pertama sekali, prajurit laut Portugis pada permulaan peperangan tak akan sanggup mendarat, kalau tidak mendapat pertolongan ratusan jung Tionghoa yang berada di pelabuhan Malaka. […] Kedua, boleh dikatakan tak ada kerjasama antara armada Adipati Unus dari Jepara dengan armada Malaka. […] Ketiga, tipis sekali kerjasama antara pemimpin suku bangsa Jawa yang tinggal di kampung Uni di bawah Patih Utimutis dengan suku bangsa Melayu yang langsung berada di bawah pemerintah sultan pada peperangan menghadapi serangan tentara Portugis, di dalam kota Malaka. […] Keempat, perpecahan di dalam masyarakat bangsa Melayu sendiri. Kezaliman Sultan Mahmud, yang memegang pemerintahan (sebelum Portugis menyerbu) pada satu pihak, dan kekayaan para hartawan dan para pembesar Malaka di lain pihak, menjadi alat adanya beberapa golongan yang bertentangan dan bersenjata dalam kota Malaka sendiri.” Demikianlah uraian analisa Tan Malaka mengenai kejatuhan kerajaan Malaka.
Masih di bab ini pula, Tan menceritakan bagaimana tukar alihnya jumlah populasi bangsa Melayu di semenanjung Malaysia dan Singapura, dengan bangsa tetamu dari Tiongkok dan India. Pada masa-masa perjalanan Tan di semenanjung dan Singapura, Tan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kapitalis Inggris telah memasukkan lompen proletar asing, orang lontang-lantung dari Tiongkok, atau para penjahat yang dikejar pemerintah Tiongkok, masuk dan berkuli di kebun-kebun orang Melayu. Masuknya orang-orang Tionghoa dan Keling ke Malaysia dan Singapura, telah mengubah persentase populasi etnis di negeri ini. Bangsa Melayu yang sebanyak dua juta orang, telah dilampaui oleh etnis pendatang dari Tionghoa yang lebih dari dua juta, serta ditambah lagi oleh orang Keling sejumlah satu juta jiwa. Di sini pulalah cerita bersambung kepada tingkah laku Sultan Hussein, seorang gila yang ditolak di Johor untuk menjadi raja, menjual Singapura kepada Raffles seharga $ 60.000.
Begitulah sedikit kisah Tan Malaka dari bukunya ini, yang banyak dibaca oleh aktivis-aktivis pergerakan di Indonesia dan Malaysia. Tak dapat lagi saya membendung rasa haru diri, mengingat tulisan ini dibuatnya di dalam penjara, di bawah pengejaran tentara Republik yang menganggapnya sebagai orang yang harus disingkirkan. Bagi Anda pecinta sejarah, buku karya Tan Malaka ini layak dibaca, ataupun menjadi koleksi perpustakaan pribadi

sumberhttp://afandri81.wordpress.com/2009/12/26/kisah-tan-malaka-dalam-buku-dari-penjara-ke-penjara/:

Posting Komentar